Kaligrafi Islam

Kaligrafi Islam
Allah Tuhanku dan Muhammad Utusan Allah SWT

22 April 2010

Opini Hari Buruh : Mayday dan HAM untuk para Buruh

Oleh : Karsidi Setiono
Aktivis LSM Gerakan Aliansi Untuk Perubahan (LSM – GALAU) / Alumni Ikatan Remaja Muhammadiyah Lampung

PERINGATAN Hari Buruh Internasional, yang jatuh pada setiap tanggal 1 Mei, yang sering disebut mayday tahun ini unik karena dirayakan ditengah banyaknya kesulitan dari berbagai persoalan yang membelit kehidupan kenegaraan. Ditambah lagi persoalan yang dihadapi para pekerja Indonesia di luar negeri khususnya untuk konteks TKI didahului dengan pemaparan senarai panjang kisah duka seputar para TKI dan TKW kita, sebagaimana pernah dilansir media massa nasional hampir secara beruntun beberapa waktu lalu. Mulai dari persoalan kesalahan prosedural seputar pemberangkatan tenaga kerja ke luar negeri sampai pada persoalan yang lebih substansial terkait tindak kekerasan yang menjadikan para TKI dan TKW kita sebagai korbannya. Alih-alih meningkatkan kesejahteraan hidup, yang didapat ternyata hanyalah kemelut sosial dan kemanusiaan yang sulit terselesaikan.

Sebenarnya ada sesuatu yang lebih mendalam dan mendasar. Tingginya semangat dan jumlah perantau merupakan sebuah fakta yang sedang berbicara tentang ketakmemadaian berbagai sektor di tanah sendiri yang sedianya menjadi kekuatan penyokong kehidupan. Itu berarti, untuk sebagian orang, cita-cita untuk hidup, hidup baik dan hidup lebih baik lagi tidak dapat tercapai apabila bersikeras pada pendirian untuk tetap tinggal di kampung halaman sendiri. Tanah-tanah warisan leluhur kini tidak lagi menjanjikan hasil yang membesarkan hati. Lahan-lahan yang dulu tampak hijau dan subur sebagiannya kering kerontang. Peralihan musim yang tidak menentu membuat para petani kita tak mampu membuat program berkaitan dengan kegiatan pertanian mereka.



Di tempat lain, keputusasaan muncul lantaran hasil bumi yang memadai tidak diimbangi dengan harga jual yang memadai pula. Fluktuasi pasar yang tidak menentu menyurutkan semangat para petani. Harga-harga sebagian besar komoditas masyarakat yang mendarat rendah tidak mampu mengimbangi, apalagi melebihi harga barang kebutuhan yang mesti dibeli karena tidak dihasilkan sendiri. Para petani setiap kali hanya mampu mengernyitkan dahi dan memukul dada, lantaran usaha mereka seakan-akan tak membawa hasil. Masyarakat lebih banyak menanggung rugi, beruntung kalau imbas. Kini, kemelut ekologi dan ekonomi seakan-akan setali tiga uang menghantam tuntas nasib sejumlah petani kecil. Cita-cita merantau sebenarnya bisa timbul dari situasi seperti ini.



Namun apa yang diharapkan untuk didapat dari keputusan merantau tidak selamanya tercapai secara tuntas. Kita menyaksikan sejumlah soal pelik dalam hubungan dengan para perantau kita. Ideal kerja sebagai sarana penyempurnaan diri dan kemanusiaan malah sering menampilkan diri dalam peran yang sebaliknya. Untuk konteks para TKI dan TKW yang diperlakukan secara tidak manusiawi misalnya, kerja malah menjadi ekses yang mengantar mereka pada pemojokan nilai kemanusiaan, bahkan sampai pada titik yang paling kelam.



Tesis filsafat manusia bahwa kerja mengabdi pada kepentingan perkembangan manusia sedang dibantah secara telak. Sebab, nyatanya manusialah yang menghambakan (dan mengorbankan) diri pada kerja. Nasib malang yang menimpa sejumlah TKI dan TKW asal daerah ini sebenarnya menyadarkan kita bahwa masalah seputar perburuhan tidak sebegitu asing untuk konteks masyatakat kita, meskipun seringkali malah dikucilkan dari konstelasi diskursus sosial-politik lokal.



Fakta ini menjadi satu variabel untuk sekali lagi menjustifikasi dan melengkapi filsuf Karl Marx (1818-1883) dalam tesisnya tentang alienasi manusia dalam kerja. Kerja yang adalah aktivitas khas manusia (homo faber) ternyata juga bermakna bipolar. Pada satu sisi, kerja menjadi sarana aktualisasi diri (perwujudan bakat-bakat), afirmasi kebebasan manusia sebagai tuan atas alam serta locus aktualisasi dimensi sosial ada manusia (hasil kerja bisa diakui dan dimanfaatkan orang lain). Pada sisi lain, bersamaan dengan kemunculan era industri (dengan kerja upahan sebagai sistem khasnya), kerja menjadi jebakan pada alienasi manusia khususnya para pekerja. Marx menyebutkan beberapa indikasi alienasi manusia dalam kerja seperti kebergantungan mutlak pada perusahaan dan majikan, minimnya peluang untuk menikmati hasil kerja secara langsung (hasil kerja adalah milik perusahaan), pekerja memperalat diri untuk mendapatkan nafkah, persaingan antarpara pekerja serta permusuhan antara pekerja dengan majikan-karenanya kerja upahan mengasingkan manusia dari sesamanya (FB Hardiman, 2007).



Bipolaritas makna semakin kentara manakala kerja berada pada sebuah tegangan. Pada satu pihak, kerja menjadi sarana untuk menjamin dan menyokong keberlangsungan hidup. Dan pada pihak lain, keterlibatan dalam kerja bisa menjadi jalan masuk pada pengalaman akan hal-hal yang justeru bertentangan dengan nilai-nilai universal dan semangat dasariah kehidupan. Kerja bukan lagi sarana untuk menjamin HAM (sabagai nilai dasariah kehidupan), tetapi sebaliknya pengorbanan HAM malah menjadi taruhan dan prasyarat utamanya. Rupanya inilah sketsa pengalaman TKI dan TKW kita yang menjadi 'korban'. Dunia perburuhan adalah sebuah ruang dan kondisi yang rentan dengan pelanggaran HAM

Tak pernah tuntas
Masalah seputar dunia perburuhan umumnya dan TKI/TKW khususnya memang pelik bahkan tak pernah tuntas terurus. Meskipun demikian, nasib kaum buruh harus tetap menjadi medan perwujudan komitmen keberpihakan kita pada nilai-nilai universal kemanusiaan. Keberpihakan pada mereka sedianya menjadi wujud konkret perjuangan pembelaan dan penegakan HAM yang kian intens disadari dan dilancarkan. Namun karena manusia, padanya hak-hak dasar itu melekat adalah makhluk multi-dimensi, penegakan HAM adalah sebuah praksis, dalamnya pemberdayaan totalitas aspek kehidupan manusia digalakkan.



Dalam kaitan dengan penanggulangan masalah seputar perantauan dan pemenuhan hak-hak dasar kaum pekerja dalam konteks TKI/TKW asal Lampung, beberapa ideal berikut penting untuk dikemukakan dan selanjutnya diberi perhatian serius. Pertama, selain penertiban administrasi, para perantau kita perlu juga dibekali dengan sejumlah latihan kerja sebagai persiapan diri sebelum meninggalkan tanah air untuk mengaduh nasib serta mempertaruhkan takdir di negeri orang. Boleh jadi nasib malang yang akhirnya menimpa kaum buruh kita berawal dari kualitas hasil kerja yang tidak diharapkan. Pelatihan dan pendidikan khusus untuk pelbagai bidang yang berpeluang untuk mereka geluti sebagai mata pencaharian merupakan sesuatu yang bersifat niscaya untuk terus diperhatikan dan ditingkatkan, baik oleh pemerintah maupun komponen masyarakat lainnya. Dengan ini, pelanggaran HAM kaum buruh yang dipicu oleh rendahnya kualitas kerja sedikit ditangkal.



Kedua, masalah seputar perantauan yang untuk sebagian orang kemudian menjadi sumber malapetaka merupakan sesuatu yang tak terbendung selama kondisi ekologi dan ekonomi di tanah sendiri belum dapat memberi jaminan kepastian untuk menyokong kehidupan. Kemiskinan akibat kondisi alam yang tidak memadai seakan-akan disempurnakan oleh sistem ekonomi yang seringkali tidak memihak pada masyarakat. Gagasan dan praksis pemulihan ekologi dalam berbagai bentuk tampilan konkretnya juga menjadi langkah preventif yang mesti turut diperhitungkan. Sementara itu, semua komponen masyarakat yang mesti bertanggung jawab mesti lebih serius memikirkan dan mengusahakan sebuah politik ekonomi yang sedapat mungkin memberi ruang bagi perolehan keuntungan optimal bagi masyarakat lokal sebagai penghasil komoditi.



Dalam kadar tertentu, masalah seputar perburuhan dan HAM untuk konteks TKI sebenarnya terjadi dalam sebuah pentahapan yang tampak apik. Kemelut ekonomi dan ekologi menciptakan kemiskinan. Kemiskinan memancing semangat merantau. Merantau adalah juga pintu masuk yang terbuka lebar bagi pelbagai jenis pelanggaran hak-hak dasar kaum buruh serta rahim bagi lahir dan bertumbuhnya pelbagai masalah sosial kemasyarakatan lainnya. Dunia perburuhan adalah sebuah ruang penuh misteri, padanya hidup dipertaruhkan tanpa jaminan kepastian. Keterlibatan dalamnya bisa menjadi jalan melaluinya hidup itu dipertahankan dan selalu diperbaiki. Serentak pula ia bisa menjadi jalan masuk yang tak terduga dari awal, melaluinya hidup itu sendiri disingkirkan keberadaannya. Perhatian terhadap beberapa aspek yang disebut sebelumnya bisa menjadi bahan pertimbangan pelbagai pihak, entah pemerintah, lembaga-lembaga non-pemerintah ataupun komponen masyarakat lainnya dalam usaha mencegah munculnya pelanggaran HAM akibat keterlibatan dalam dunia kerja tertentu. Penegakan HAM secara niscaya mensyaratkan pemberdayaan totalitas nilai dan dimensi yang menjadi unsur konstitutif jati diri dan keberadaan manusia. *



*Lahir di PSS Utara, Lampung Barat, 5 Mei 1985. Alumni SMA Muhammadiyah 2 Bandar Lampung

18 April 2010

Penertiban Pola Prostutusi Kota

Oleh Karsidi Setiono
Mantan Aktivis Ikatan Remaja Muhammadiyah

Perkembangan prostitusi kini cenderung meningkat dengan menyebarnya aktivitas wanita tunasusila (WTS) atau pekerja seks komersial (PSK) hampir di sebagian kota-kota besar. Termasuk daerah kita. Ditambah lagi semakin maraknya keberadaan account-account transaksi prostitusi yang ada pada jejaring sosial Facebook. Ini merupakan sebuah masalah tersendiri yang harus diselesaikan aparat pemerintahan dan tokoh-tokoh terkait.



JIKA kita perhatikan, aktivitas kehidupan PSK tidak terlepas dari kehidupan dunia malam. Berarti, mereka dapat kita temui hampir di tempat-tempat hiburan, sepanjang jalan-jalan protokol, sudut kota, dan tidak terkecuali tempat-tempat umum. Kekhawatiran kita kini akan menyebarnya pekerja seks yang terkesan dibiarkan (tidak terkontrol) begitu saja melakukan praktiknya tanpa usaha-usaha menertibkannya.

Selama ini aktivitas mereka berbaur dengan lingkungan sekitar masyarakat dan terkesan makin meluas dilihat dari jumlah dan tempat mereka melakukan transaksi seks (lihat saja bagaimana bebasnya pekerja seks di tempat umum berkeliaran mencari pelanggan). Tentu kita masyarakat resah akan dampak yang dapat merugikan masyarakat dan pencitraan yang ada di sekitar lingkungan kota, seperti halnya survei yang dilakukan di Kota Bandarlampung.

Kalaupun ada sebuah perspektif yang berbeda menyangkut pro-kontra dalam memandang persoalan ini, tidaklah menjadi alasan tidak peduli karena masing-masing tentu memiliki kepentingan. Akan tetapi, dibutuhkan sebuah regulasi untuk menertibkan aktivitas mereka dengan terus berpikir bagaimana mencari penyelesaian permasalahan mereka.

Menurut pemantauan Dinas Sosial, khususnya daerah-daerah tempat prostitusi yang berada di Bandarlampung, meliputi tempat-tempat hiburan dan mereka tersebar beberapa tempat mangkalnya WTS atau PSK. Seperti kawasan daerah Tanjungkarang Pusat, jalan protokol (pada hotel-hotel), eks Pasar Seni Enggal, eks lokalisasi Pemandangan/Pantai Harapan (Panjang), Jl. Pramuka, Jl. Urip Sumoharjo, sepanjang Jl. Yos Sudarso, dan daerah kawasan daerah Telukbetung.

Sorotan mengenai kegiatan prostitusi atau pelacuran yang bersifat liar (ilegal) dan sporadis pada daerah kota menjadi persoalan urgen dan dibutuhkan penanganan secara humanis. Tentu kita mengingat bagaimana lokalisasi Panjang (Pantai Harapan dan Pemandangan) dibubarkan pemerintah daerah. Akan tetapi, persoalan ini tidak bisa memberikan jawaban yang tepat. Terbukti setelah lokalisasi ditutup, justru mereka pekerja seks sulit diawasi dan makin liar.

Di samping itu, kita memahami keberatan masyarakat sekitar lokalisasi yang merasa terganggu akan praktik legal pelacuran, terutama tokoh agama, masyarakat, pemuda, dan sebagian masyarat akan dampak adanya lokalisasi. Belum lagi ditambah sikap reaktif kelompok masyarakat (ormas agama/pemuda) secara luas melakukan reaksi sosial menentang kegiatan prostitusi. Sebab, hal ini bergantung faktor adat istiadat, norma-norma susila, dan agama yang menentang segala bentuk kegiatan pelacuran.

Berhubungan dengan aktivitas pola pelacuran yang ada selama ini ada, umumnya mereka berangkat dari keterpaksaan menyangkut persoalan keluarga dan masalah pribadi, traumatik terhadap kekerasan seksual, dan sulitnya pilihan (mencari pekerjaan) di tengah-tengah persoalan yang mengimpit hidup mereka. Hingga mereka terjerumus dalam dunia prostitusi.

Ada beberapa penyebab mengapa persoalan prostitusi sulit ditertibkan dan terus marak. Menurut pengamat patologi sosial Kartini Kartono, dapat dilihat dari indikator meningkatnya aktivitas pelacuran. Pertama, tidak adanya undang-undang atau peraturan yang melarang, membatasi, dan mengatur kegiatan pelacuran secara benar menyangkut kegiatan tempat-tempat prostitusi/hiburan. Artinya, selain tidak adanya sanksi tegas terhadap orang-orang/tempat dan organisasi yang melakukan kegiatan relasi prostitusi.

Kedua, adanya keinginan dan dorongan manusia menyalurkan kebutuhan seks, khususnya di luar ikatan perkawinan, makin tidak terkendali, adanya krisis norma agama, dan sosial sehinggga menimbulkan dekadensi moral.

Ketiga, adanya komersialisasi kegiatan seks sebagai bagian pemuasan kebutuhan biologis dalam perspektif dunia industri seks atau penunjang usaha ilegal menjadi legal, baik dari kepentingan biologis, ekonomis, maupun politik.

Menganalisis persoalan prostitusi tentu memiliki motif lain, seperti adanya kecenderungan melacurkan diri pada banyak wanita muda untuk menghindari kesulitan hidup adalah alasan klasik. Selain itu, untuk mendapatkan kesenangan melalui jalan pintas alasan praktis, ditambah lagi faktor persoalan kurangnya pendidikan, trauma kekerasan seksual adalah faktor pendukung aktivitas pekerjaan sebagai WTS.



Jenis Prostitusi dan Lokalisasi

Menurut aktivitasnya, prostitusi pada dasarnya terbagi dua jenis. Pertama, prostitusi yang terdaftar dan memperoleh perizinan dalam bentuk (lokalisasi) dari pemerintah daerah melalui Dinas Sosial dibantu pengawasan kepolisian dan bekerja sama dengan Dinas Kesehatan. Umumnya, mereka dilokalisasi dalam satu daerah/area tertentu.

Penghuninya secara periodik harus memeriksakan diri pada dokter atau petugas kesehatan dan mendapatkan pelayanan kesehatan berupa pengobatan, seperti pemberian suntikan untuk menghindari penyakit-penyakit berkenaan dengan prostitusi.

Sedangkan kedua adalah jenis prostitusi yang tidak terdaftar bukan lokalisasi. Adapun yang termasuk kelompok ini ialah mereka yang melakukan kegiatan prostitusi secara gelap dan liar, baik perorangan maupun kelompok terorganisasi.

Perda No. 15/2002 tentang Tindak Pelanggaran Prostitusi yang mengatur hukuman bagi pekerja seks komersial dan laki-laki hidung belang belum mampu membuat jera jika mereka melakukan kegiatan pelacuran. Perda ini cenderung kurang berjalan dan tidak adanya ketegasan, baik dari pemerintah daerah maupun dinas yang terkait.

Kalaupun diadakan operasi bersama untuk merazia, belum dapat dikatakan efektif dan selama ini operasi belum menyentuh akar persoalan. Adapun kegiatan penertiban tidak mampu menyentuh atau memberikan sanksi berat kepada mucikari atau organizer tempat-tempat hiburan.

Dengan demikian, kalau kita mengevaluasi kegiatan penertiban selama ini lebih bersifat tidak rutin dan sementara. Bagi pelaku hanya dikenakan sanksi sidang di tempat. Kalaupun ingin bebas bersyarat dapat membayar denda uang yang besarnya tidak lebih dari Rp150 ribu/orang.

Melihat banyaknya PSK yang berkeliaran, tentu masyarakat mengharapkan Pemkot Bandarlampung bersama instansi terkait cepat tanggap dan segera mengambil tindakan secara periodik dengan terus mengadakan razia (penertiban) dan melokalisasi di tempat yang tersendiri dan meminimalisasi kegiatan prostitusi sebagai usaha menjauhi dampak masyarakat sekitar.

Artinya, kita sudah saatnya memikirkan kerugian lebih besar bila prostitusi dibiarkan begitu saja tanpa adanya pengaturan regulasi dan (lokalisasi).

Sebab, kini di Indonesia penderita HIV/AIDS terus meningkat tiap tahunnya sejak

penyakit ini menyerang awal 1987. Diperkirakan sampai akhir 2003 penderita HIV/AIDS mencapai 3.614 orang dengan 332 korban meninggal dunia.

Sedangkan menurut data yang diperoleh Dinas Sosial dan Kesehatan Provinsi Lampung, sepanjang 2003 diperkirakan 64 orang positif HIV dengan perbandingan peningkatan dua kali lipat (100%) dibandingkan tahun sebelumya sebanyak 33 kasus yang positif. Terjadinya peningkatan penderita HIV yang luar biasa berdampak kepada kekhawatiran kita mengenai persoalan ini.

Adapun penyebab perkembangan penyakit HIV/AIDS yang paling utama lebih disebabkan hubungan seks bebas (pelacuran), meluasnya pekerja seks bebas yang masih beroperasi di tempat pelacuran dengan lokasi berpindah-pindah tentu berakibat meluasnya penularan penyakit kelamin dan sulitnya pengawasan.

Tudingan prostitusi dianggap sebagai 80% faktor utama tentu beralasan karena pelaku seks bebas kini mengidap virus HIV/AIDS yang sangat mematikan dan belum ditemukan obatnya. HIV/AIDS timbul dan berkembang sangat cepat karena dunia pelacuran tetap saja berkembang. Di mana negara-negara yang sedang berkembang paling banyak menghadapi persoalan kasus pelacuran, termasuk pelacuran anak dengan berbagai alasan penyebab.

PSK yang melakukan profesinya dengan sadar/sukarela dan terpaksa berdasarkan motivasi-motivasi tertentu, seperti halnya melakukan tugas melacur karena ditawan atau dijebak dan dipaksa orang yang menjanjikan pekerjaan, yang terdiri atas sindikat organisasi gelap dengan bujukan dan janji yang manis. Ratusan bahkan ribuan gadis dari desa dijanjikan mendapat pekerjaan, tapi justru dunia prostitusi yang dijadikan pekerjaan mereka. (*)

Kontroversi sang Susno Duadji

Oleh Karsidi Setiono
Aktivis Ikatan Remaja Muhammadiyah

Komisaris Jenderal Polisi (Komjen Pol.) Susno Duadji seakan tidak pernah sepi dari hal kontroversi. Setelah terlibat dalam upaya kriminalisasi dua anggota KPK, kini membongkar markus di tubuh Polri.

BETAPA publik menghujat jenderal bintang tiga ini ketika rekaman pembicaraan dugaan upaya kriminalisasi terhadap Wakil Ketua KPK Chandra Hamzah dan Bibit S. Rianto yang didalangi langsung Anggodo Widjojo, adik Anggoro Widjojo, di sidang terbuka di gedung Mahkamah Konstitusi (MK). Rakyat pun begitu marah karena ia berani memenjarakan dua orang yang menjadi simbol rakyat memberantas tikus-tikus berdasi dalam kerangka demokrasi tersebut. Hingga dalam kasus yang sering disebut dengan ungkapan (cicak vs buaya) ini pula mengakibatkan dirinya dinonaktifkan dari jabatannya sebagai Kabareskrim Mabes Polri.

Kehebohan sang jenderal ini nyatanya tidak berhenti sampai di situ. Dengan berseragam lengkap dan beratribut Polri-nya, Susno datang sebagai saksi sidang perkara mantan Ketua KPK Antasari Azhar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Sehingga Kapolri pun terusik, fasilitas yang diberikan pada Susno pun dilucuti Detasmen 88 Polri waktu itu.

Tanggapan rakyat pun jadi berubah 100%. Yang sebelumnya banyak menghujat, menghina, atau mencacimaki Susno karena kasus kriminalisasi KPK, kini berbalik jadi simpati. Susno Duadji tak ubahnya jenderal flamboyan. Bicaranya ditunggu banyak orang karena keberaniannya. Bahkan berani melawan kebijakan institusinya jika menurutnya benar.

Kali ini berbeda. Nyanyian lagu Susno Duadji bermula saat melapor di kantor Satgas Pemberantasan Mafia Hukum. Jenderal berbintang tiga non-job itu diterima Mas Achmad Santosa, Darmono, dan Denny Indraya. Susno pun mulailah bernyanyi. Beliau membeberkan informasi mengenai makelar kasus (markus) pajak yang terjadi di tubuh Mabes Polri. Terutama temuan kasus pajak yang diduga uangnya dibagi-bagi oleh penyidik di korps Bhayangkara itu.

Pengaduan Susno yang disampaikan pada Satgas Pemberantasan Mafia Hukum, yaitu kasus money laundering (pencucian uang), penyuapan, korupsi, dan markus yang terjadi di tubuh Polri. Kasus ini ditangani anak buah Susno manakala masih menjabat Kabareskrim Polri. Namun, belum sempat diselesaikan, Susno keburu dicopot Kapolri atas rekomendasi Tim Delapan yang dipimpin Adnan Buyung Nasution yang disampaikan kepada Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY).

Sesaat sebelum jabatannya lepas, Susno Duadji berpesan pada bawahannya agar kasus tersebut diselesaikan. Namun, karena tidak kunjung tuntas, Susno mulai menaruh curiga kalau kasus tersebut telah dipelintir dua jenderal. Malah menurut Susno, ada lima perwira Polri yang dicurigai terlibat seperti diberitakan Radar Lampung. Yakni Brigjen EI (Kapolda Lampung), Brigjen RE, Kompol A, AKBP T, dan Kombespol EB. Juga menyeret nama Gayus Tambunan, seorang pegawai pajak golongan III/a pada Ditjen Pajak, yang menjadi tersangka dalam kasus yang merugikan negara Rp 28 miliar.

Sekarang yang menjadi pertanyaan, siapa dan apa jabatan para jenderal yang disebut oleh Susno? Apa peran yang dilakoni para jenderal menurut Susno?

Brigjen EI awalnya adalah Direktur II Ekonomi Khusus Bareskrim. Kemudian dia diganti Brigjen RE. Bahkan menurut Susno, Kapolri juga harus bertanggung jawab untuk menangkap dan memenjarakan kedua jenderal tersebut.



Periksa Perkara Pokok

Menanggapi tudingan sebagai markus, Direktur Ekonomi Khusus (Direksus) Bareskrim Mabes Polri Brigjen Pol. Raja Erizman berang. Ia pun menyerang balik. Raja Erizman menuding Susno Duadji ibarat maling teriak maling. Raja Erizman mengungkapkan, justru dulu banyak markus yang bergentayangan dan berdatangan ke ruang Susno ketika ia menjabat sebagai Kabareskrim.

Bukan hanya Raja Erizman yang berang, Kapolri melalui Kadivhumas Polri Komjen Pol. Edward Aritonang juga memberikan sanggahan. Menurutnya, pernyataan itu belum tentu sepenuhnya benar. Karena itu, pihaknya telah melayangkan panggilan untuk Susno untuk menjelaskan hal ini. Bahkan, Kapolri telah memerintahkan Kabid Propam Mabes Polri untuk memeriksa Susno Duadji berkenaan hal itu.

Jika kita amati, dari asas hukum pidana yang dianut di Indonesia, jika ada seseorang dan atau sebuah lembaga yang melaporkan sesuatu peristiwa pidana, yang harus diperiksa dan atau ditindaklanjuti terlebih dahulu adalah perkara pokoknya dengan maksud untuk membuktikan apakah laporan tersebut benar menurut hukum atau tidak.

Bila terpenuhi unsur materi hukumnya, pengaduan tersebut ditingkatkan statusnya menjadi penyidikan dengan menetapkan tersangkanya. Namun, jika unsur hukumnya tidak terpenuhi, oleh Polri diterbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3). Artinya, apa yang disampaikan Susno Duadji itu harus ditindaklanjuti kebenaran yuridisnya terlebih dahulu. Bukan sebaliknya, justru Kapolri memerintahkan Susno Duadji agar diperiksa karena telah mencemarkan institusi kepolisian.

Menyimak sikap Kapolri dalam menyikapi laporan Susno Duadji, khalayak ramai semakin meyakini bahwa betapa sulitnya untuk membongkar indikasi-indikasi. Bisa saja memang benar demikian adanya pelanggaran hukum yang diduga terjadi di tubuh kepolisian yang selama ini telah menggurita.

Seorang Susno Duadji adalah jenderal bintang tiga yang masih aktif, justru mendapat serangan balik dari pembesar Polri yang mencoba melakukan koreksi di tubuh Polri. Apalagi kalau yang melapor adalah rakyat jelata, bisa jadi si pelapor langsung diamankan tanpa pernah diperoses laporannya.

Pertanyaannya sekarang, sebegitu pentingkah polisi harus melindungi dan menutup-nutupi kebobrokan yang begitu menggurita di tubuh institusi kepolisian? Tidak adakah tebersit di hati nurani petinggi Polri untuk mereformasi jajarannya sehingga menjadi contoh dan panutan masyarakat dalam penegakan hukum di negeri ini?

Sebenarnya sejak reformasi digulirkan, tidak sedikit petinggi Polri yang diseret KPK karena melakukan pelanggaran hukum yang sebelumnya sama sekali tidak pernah tersentuh selama pemerintahan almarhum Soeharto. Bukankah ini semua menunjukkan bahwa memang tidak tertutup kemungkinan yang disenandungkan Susno Duadji itu mungkin ada benarnya.

Sesungguhnya tidak ada manusia yang kebal dari hukum. Hukum itu bersifat adil tanpa memandang jabatan, harkat, dan martabat. Tapi, dalam pelaksanaan penegakan hukum cenderung tidak adil. Sebagai contoh, dua janda pahlawan yang harus menderita kedinginan di penjara akibat ketidakadilan. Semoga apa yang diungkap sang jenderal membuka mata para penegak hukum. (*)