Kaligrafi Islam

Kaligrafi Islam
Allah Tuhanku dan Muhammad Utusan Allah SWT

06 Mei 2011

DEMOKRASI

Century Wajib Digugat Rakyat

Angket pajak, meski prematur sudah hancur, tentu kita tidak mau century bertahan pada sikap “silat lidahnya” anggota legislatif ,maka rakyat menggugat agar kasus sentury di tuntaskan.

Laporan audit investigasi yang disampaikan BPK ke DPR banyak yang tidak benar. Dalam laporan tersebut, BPK mengungkap sejumlah hal, antara lain adanya penarikan dana oleh pihak terkait, yang seharusnya tidak boleh, sewaktu Century berada dalam pengawasan khusus BI; pengubahan Peraturan Bank Indonesia (PBI) tentang syarat rasio kecukupan modal (CAR) bank yang bisa mendapatkan fasilitas pinjaman jangka pendek (FPJP); ketidaktahuan BI atas sejumlah risiko yang akhirnya membuat biaya penyelamatan Bank Century membengkak. Budi membantah bahwa BI mengubah PBI agar bisa memberikan FPJP kepada Bank Century yang berdasarkan neraca per 30 September 2008 memiliki CAR 2,35 persen.  Ia juga membantah bahwa BI tidak mengetahui potensi risiko kerugian Century sebelum rapat Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) pada 21 November 2008 yang memutuskan kebutuhan dana talangan penyelamatan Century.

”Kebetulan saja begitu PBI-nya keluar, Bank Century mengajukan permintaan FPJP,” kata Budi Rochadi. PBI itu mengubah syarat CAR bank mendapatkan FPJP dari minimal 8 persen menjadi minimal 0 persen.

Kebutuhan likuiditas

Sebelum pertemuan KSSK, BI mentaksir dana yang dibutuhkan Century untuk tambahan modal sebesar Rp 1,7 triliun. Terdiri atas Rp 632 miliar untuk CAR mencapai 8 persen dari neraca per 31 Oktober 2008 dan Rp 1,07 triliun untuk pencadangan akibat pemburukan aset yang terjadi selama periode 1-20 November 2008.

Nilai Rp 1,07 triliun diperoleh atas hasil pemeriksaan BI yang masih berlangsung dan belum dikonfirmasi ke Bank Century. Dari informasi BI bahwa kebutuhan likuiditas bank Century dalam 3 bulan ke depan mencapai Rp 4,79 triliun. Total kebutuhan dana yang awalnya diusulkan BI sekitar Rp 6,6 triliun.
Namun, KSSK akhirnya memutuskan kebutuhan dana hanya sebesar Rp 632 miliar. Mantan Menteri Perekonomian Kwik Kian Gie mendesak BPK mempertajam fokus audit investigasinya terhadap aliran dana, baik sebelum maupun setelah Bank Century berada dalam pengawasan khusus BI. Selain itu, BPK juga diminta untuk mengarahkan audit investigasinya terhadap penggunaan dana yang sudah dikucurkan oleh BI melalui FPJP dan penyertaan modal sementara Bank Century.

Sri Mulyani Indrawati, yang waktu itu menjabat sebagai menteri keuangan, mengakui bahwa pemerintah mempunyai kepentingan untuk menyelamatkan Bank Century pada saat kondisi perbankan Indonesia dan dunia mengalami tekanan akibat krisis ekonomi global. “Paling tidak dalam lima tahun mendatang, bila dikelola dengan manajemen yang baik, Bank Century ada potensi untuk dijual,” ujar Sri Mulyani yang juga waktu itu menjabat Ketua Komite Stabilisasi Sektor Keuangan (KSSK) di London.

Ia menjelaskan, keputusan menyelamatkan Bank Century pada 21 November 2008 pada saat kondisi perbankan Indonesia dan dunia mendapat tekanan berat akibat krisis ekonomi global, tidak bisa dinilai berdasarkan kondisi saat ini. “Dengan meminimalkan ongkosnya dan dikelola oleh manajemen yang baik maka Bank Century punya potensi untuk bisa dijual dengan harga yang baik,” katanya.

Menurutnya, keputusan KSSK pada saat itu adalah bertujuan untuk menghindari terjadinya krisis secara berantai pada perbankan yang dampaknya jauh lebih mahal dan lebih dahsyat dari tahun 1988. Dia menambahkan, biaya untuk menyelamatkan Bank Century tidak sebesar kerugian kalau bank tersebut dibiarkan mati, sehingga keputusan untuk menyelamatkan Bank Century yang dipilih. Pada perhitungan saat itu, penyelamatan Bank Century memakan biaya 683 miliar rupiah, sedangkan apabila dibiarkan mati, paling tidak pemerintah harus mengeluarkan biaya lebih dari lima triliun rupiah.

Ia mengemukakan, sebuah bank akan tetap beroperasi bila mempunyai ratio kecukupan modal (CAR-capital adequacy ratio) sebesar delapan persen. Karena itu, Bank Century diambil alih oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dengan menyuntikkan modal agar syarat CAR minimum bisa terpenuhi dan bank ini tetap operasinal. “Hal itu yang menyebabkan hingga sekarang ini, pemerintah lewat LPS menyuntikan dana segar hingga Rp6,76 triliun rupiah,” ujarnya.

Setelah sekian lamanya kasus century di “peti-es kan”, namun rakyat harus tahu dan menggugat agar kasus century harus diselesaikan. Tidak boleh ada tebang pilih dalam penuntasan kasus hukum di Indonesia. ***

Musda PAN Garut

Kang Babay Memimpin PAN Garut

GARUT, Warta PAN - H. Babay Tamimi berhasil mengungguli tiga kadidat lain di perhelatan Musda IV Partai Amanat Nasional (PAN) Kabupaten Garut, dari 473 hak pilih, ia meraih suara sebanyak 289 suara., tiga kandidat, H. Yayat memperoleh 89 suara, Asep Komarudin Anda 53 Suara, dan H. Ganiyasa memperoleh 40 suara, sedangkan yang abstein 8 suara. Sementara itu H. Maman Sukirman terpilih sebagai Ketua Majelis Penasehat Partai Daerah (MPPD) PAN Kabupaten Garut.

Musda IV PAN, dibuka resmi Ketua DPW PAN Jabar, Irjen Pol (Purn) Edi Darnadi, di Bale Paminton Garut, Sabtu (30/4), dihadiri Bupati Garut H. Aceng HM. Fikri, S.Ag, Ketua DPD PAN Kabupaten Garut, dan para pengurus parpol, serta Mustafa Fatah – Anggota KPUD Garut. 

Menurut Ketua DPW PAN Jabar, Irjen Pol (Purn) Edi Darnadi, yang juga mantan Kapolda Jawa Barat, secara kualitas perkembangan partainya khususnya di Kabupaten Garut meningkat, meski tidak terlalu signifikan. Terbukti, hasil Pemili 2009, kursi PAN di DPRD Garut kini sebanyak 5 kursi, sedangkan pada hasil Pemiu 2004 hanya 4 kursi. Dirinya yakin, pemilu yang akan datang, sesuai dengan amanat partai pencapaian dua digit akan tercapai. “Artinya kursi PAN di DPRD Garut minimal 7 kursi maksimal 10 kursi Insya Alloh akan tercapai”, tegasnya yakin.

Ketua DPD PAN Garut 2006-2011, Enjang Tedi, menyebutkan, dibanding dengan daerah lain di Jawa barat, DPD PAN Garut telah melaksanakan musda yang ke empat kalinya, sementara daerah lain baru tiga kali. “Artinya, ketika partai ini berdiri, tradisi musyawarah di PAN Garut sudah jauh-jauh telah dmulai, sementara di daerah lain bahkan harus dengan mufakat”, katanya.  (Lap Karsidi untuk Warta PAN)

Parpol

PAN Cetak 100 Kader Per Desa

Untuk menciptakan partai yang solid dan lebih dekat dengan rakyat, maka perlu dilakukan terobosan-terobosan baru, agar bagaimana partai mampu merangkul seluruh aspirasi masyarakat tanpa terkecuali. Maka dari itu, Partai Amanat Nasional (PAN), telah menginstruksikan seluruh tokoh-tokohnya, baik di DPW maupun DPD, untuk mencetak 100 kader per desa.

Hal itu terlihat dalam Rapat Koordinasi Nasional Badan Perkaderan dan Instruktur Nasional di Sawangan Jawa Barat 14-16 Januari. Wakil Ketua DPW PAN Sulsel, Ilham Burhanuddin SH MH, kepada Warta PAN mengakui hal tersebut. Menurut Ilham yang juga anggota DPRD Sulsel itu, perekrutan kader-kader PAN 100 setiap desa, merupakan instruksi nasional yang wajib dijalankan.
 
"Kita saat ini, mulai mencetak 100 kader per desa di Sulsel, hal itu dilakukan untuk bagaimana agar PAN kedepan jauh lebih merakyat dan menyerap aspirasi masyarakat yang selama ini masih kurang terserap. Kader-kader militan PAN nantinya, akan berjuang untuk bagaimana membawa PAN ini jauh lebih maju. Target pembentukan 100 kader per desa akan kita realisasikan," tegasnya.

Diprovinsi Jawa Tengah, menurut Ketua DPW PAN Jawa Tengah, Wahyu Kristianto “Program 100 kader per desa, di Jawa Tengah baru akan berjalan setelah masing-masing DPD PAN di 26 kabupaten/kota di seluruh Jawa Tengah selesai melaksanakan Musyawarah Daerah, sementara ini yang baru akan melaksanakan program tersebut adalah DPD PAN Semarang.” Ungkapnya saat dihubungi via ponsel.

Sementara itu, menurut Ketua DPW PAN Papua Barat, Rahmat. C. Sinameur “Program Pak Hatta yang 100 kader per desa sebenarnya bagus, tetapi rasanya sangat sulit di terapkan di Papua khususnya Papua Barat. Karena mereka bukti kongkret dari partai-partai politik yang ada” ungkapnya

Dalam Rakornas Badan Perkaderan dan Intruktur Nasional juga dihadiri langsung Ketua Umum DPP PAN, Hatta Radjasa, yang juga Menteri Perekonomian Republik Indonesia. PAN akan lebih giat menyerap aspirasi masyarakat, sehingga mereka memang merasa terwakili dan menanamkan dalam hati kalau PAN adalah partai rakyat.

*ksd/dbs/team


PARLEMEN

Citibank Bermasalah, Komisi 11 DPR RI Bentuk Team Perumus

JAKARTA, Warta PAN – Rapat internal Komisi XI yang membahas persoalan kasus Citibank belum ada keputusan. Semua anggota sepakat membentuk Tim Perumus (Timus) untuk mendalami dan mengatur sanksi yang tepat untuk Citibank terkait kasus pembobolan dan pembunuhan terhadap nasabahnya.

“Masih akan dilanjutkan. Jika tidak ada halangan nanti malam tim perumus akan dibentuk,” kata anggota Komisi XI dari Fraksi Partai Amanat Nasional (F-PAN) Mohammad Hatta kepada media ini, beberapa hari yang lalu.

Menurut Mohammad Hatta, pembahasan mengenai sanksi terhadap Citibank terlampau banyak, sehingga Komisi XI merasa perlu pendalaman dan mengarsir apa dan mana saja sanksi yang perlu diberikan kepada Citibank.

Dari pukul 14.30 WIB, Komisi XI mengadakan rapat internal lanjutan tentang Citibank yang dilaksanakan secara tertutup. Rapat berakhir pada pukul 15.30 WIB. *ksd

22 April 2010

Opini Hari Buruh : Mayday dan HAM untuk para Buruh

Oleh : Karsidi Setiono
Aktivis LSM Gerakan Aliansi Untuk Perubahan (LSM – GALAU) / Alumni Ikatan Remaja Muhammadiyah Lampung

PERINGATAN Hari Buruh Internasional, yang jatuh pada setiap tanggal 1 Mei, yang sering disebut mayday tahun ini unik karena dirayakan ditengah banyaknya kesulitan dari berbagai persoalan yang membelit kehidupan kenegaraan. Ditambah lagi persoalan yang dihadapi para pekerja Indonesia di luar negeri khususnya untuk konteks TKI didahului dengan pemaparan senarai panjang kisah duka seputar para TKI dan TKW kita, sebagaimana pernah dilansir media massa nasional hampir secara beruntun beberapa waktu lalu. Mulai dari persoalan kesalahan prosedural seputar pemberangkatan tenaga kerja ke luar negeri sampai pada persoalan yang lebih substansial terkait tindak kekerasan yang menjadikan para TKI dan TKW kita sebagai korbannya. Alih-alih meningkatkan kesejahteraan hidup, yang didapat ternyata hanyalah kemelut sosial dan kemanusiaan yang sulit terselesaikan.

Sebenarnya ada sesuatu yang lebih mendalam dan mendasar. Tingginya semangat dan jumlah perantau merupakan sebuah fakta yang sedang berbicara tentang ketakmemadaian berbagai sektor di tanah sendiri yang sedianya menjadi kekuatan penyokong kehidupan. Itu berarti, untuk sebagian orang, cita-cita untuk hidup, hidup baik dan hidup lebih baik lagi tidak dapat tercapai apabila bersikeras pada pendirian untuk tetap tinggal di kampung halaman sendiri. Tanah-tanah warisan leluhur kini tidak lagi menjanjikan hasil yang membesarkan hati. Lahan-lahan yang dulu tampak hijau dan subur sebagiannya kering kerontang. Peralihan musim yang tidak menentu membuat para petani kita tak mampu membuat program berkaitan dengan kegiatan pertanian mereka.



Di tempat lain, keputusasaan muncul lantaran hasil bumi yang memadai tidak diimbangi dengan harga jual yang memadai pula. Fluktuasi pasar yang tidak menentu menyurutkan semangat para petani. Harga-harga sebagian besar komoditas masyarakat yang mendarat rendah tidak mampu mengimbangi, apalagi melebihi harga barang kebutuhan yang mesti dibeli karena tidak dihasilkan sendiri. Para petani setiap kali hanya mampu mengernyitkan dahi dan memukul dada, lantaran usaha mereka seakan-akan tak membawa hasil. Masyarakat lebih banyak menanggung rugi, beruntung kalau imbas. Kini, kemelut ekologi dan ekonomi seakan-akan setali tiga uang menghantam tuntas nasib sejumlah petani kecil. Cita-cita merantau sebenarnya bisa timbul dari situasi seperti ini.



Namun apa yang diharapkan untuk didapat dari keputusan merantau tidak selamanya tercapai secara tuntas. Kita menyaksikan sejumlah soal pelik dalam hubungan dengan para perantau kita. Ideal kerja sebagai sarana penyempurnaan diri dan kemanusiaan malah sering menampilkan diri dalam peran yang sebaliknya. Untuk konteks para TKI dan TKW yang diperlakukan secara tidak manusiawi misalnya, kerja malah menjadi ekses yang mengantar mereka pada pemojokan nilai kemanusiaan, bahkan sampai pada titik yang paling kelam.



Tesis filsafat manusia bahwa kerja mengabdi pada kepentingan perkembangan manusia sedang dibantah secara telak. Sebab, nyatanya manusialah yang menghambakan (dan mengorbankan) diri pada kerja. Nasib malang yang menimpa sejumlah TKI dan TKW asal daerah ini sebenarnya menyadarkan kita bahwa masalah seputar perburuhan tidak sebegitu asing untuk konteks masyatakat kita, meskipun seringkali malah dikucilkan dari konstelasi diskursus sosial-politik lokal.



Fakta ini menjadi satu variabel untuk sekali lagi menjustifikasi dan melengkapi filsuf Karl Marx (1818-1883) dalam tesisnya tentang alienasi manusia dalam kerja. Kerja yang adalah aktivitas khas manusia (homo faber) ternyata juga bermakna bipolar. Pada satu sisi, kerja menjadi sarana aktualisasi diri (perwujudan bakat-bakat), afirmasi kebebasan manusia sebagai tuan atas alam serta locus aktualisasi dimensi sosial ada manusia (hasil kerja bisa diakui dan dimanfaatkan orang lain). Pada sisi lain, bersamaan dengan kemunculan era industri (dengan kerja upahan sebagai sistem khasnya), kerja menjadi jebakan pada alienasi manusia khususnya para pekerja. Marx menyebutkan beberapa indikasi alienasi manusia dalam kerja seperti kebergantungan mutlak pada perusahaan dan majikan, minimnya peluang untuk menikmati hasil kerja secara langsung (hasil kerja adalah milik perusahaan), pekerja memperalat diri untuk mendapatkan nafkah, persaingan antarpara pekerja serta permusuhan antara pekerja dengan majikan-karenanya kerja upahan mengasingkan manusia dari sesamanya (FB Hardiman, 2007).



Bipolaritas makna semakin kentara manakala kerja berada pada sebuah tegangan. Pada satu pihak, kerja menjadi sarana untuk menjamin dan menyokong keberlangsungan hidup. Dan pada pihak lain, keterlibatan dalam kerja bisa menjadi jalan masuk pada pengalaman akan hal-hal yang justeru bertentangan dengan nilai-nilai universal dan semangat dasariah kehidupan. Kerja bukan lagi sarana untuk menjamin HAM (sabagai nilai dasariah kehidupan), tetapi sebaliknya pengorbanan HAM malah menjadi taruhan dan prasyarat utamanya. Rupanya inilah sketsa pengalaman TKI dan TKW kita yang menjadi 'korban'. Dunia perburuhan adalah sebuah ruang dan kondisi yang rentan dengan pelanggaran HAM

Tak pernah tuntas
Masalah seputar dunia perburuhan umumnya dan TKI/TKW khususnya memang pelik bahkan tak pernah tuntas terurus. Meskipun demikian, nasib kaum buruh harus tetap menjadi medan perwujudan komitmen keberpihakan kita pada nilai-nilai universal kemanusiaan. Keberpihakan pada mereka sedianya menjadi wujud konkret perjuangan pembelaan dan penegakan HAM yang kian intens disadari dan dilancarkan. Namun karena manusia, padanya hak-hak dasar itu melekat adalah makhluk multi-dimensi, penegakan HAM adalah sebuah praksis, dalamnya pemberdayaan totalitas aspek kehidupan manusia digalakkan.



Dalam kaitan dengan penanggulangan masalah seputar perantauan dan pemenuhan hak-hak dasar kaum pekerja dalam konteks TKI/TKW asal Lampung, beberapa ideal berikut penting untuk dikemukakan dan selanjutnya diberi perhatian serius. Pertama, selain penertiban administrasi, para perantau kita perlu juga dibekali dengan sejumlah latihan kerja sebagai persiapan diri sebelum meninggalkan tanah air untuk mengaduh nasib serta mempertaruhkan takdir di negeri orang. Boleh jadi nasib malang yang akhirnya menimpa kaum buruh kita berawal dari kualitas hasil kerja yang tidak diharapkan. Pelatihan dan pendidikan khusus untuk pelbagai bidang yang berpeluang untuk mereka geluti sebagai mata pencaharian merupakan sesuatu yang bersifat niscaya untuk terus diperhatikan dan ditingkatkan, baik oleh pemerintah maupun komponen masyarakat lainnya. Dengan ini, pelanggaran HAM kaum buruh yang dipicu oleh rendahnya kualitas kerja sedikit ditangkal.



Kedua, masalah seputar perantauan yang untuk sebagian orang kemudian menjadi sumber malapetaka merupakan sesuatu yang tak terbendung selama kondisi ekologi dan ekonomi di tanah sendiri belum dapat memberi jaminan kepastian untuk menyokong kehidupan. Kemiskinan akibat kondisi alam yang tidak memadai seakan-akan disempurnakan oleh sistem ekonomi yang seringkali tidak memihak pada masyarakat. Gagasan dan praksis pemulihan ekologi dalam berbagai bentuk tampilan konkretnya juga menjadi langkah preventif yang mesti turut diperhitungkan. Sementara itu, semua komponen masyarakat yang mesti bertanggung jawab mesti lebih serius memikirkan dan mengusahakan sebuah politik ekonomi yang sedapat mungkin memberi ruang bagi perolehan keuntungan optimal bagi masyarakat lokal sebagai penghasil komoditi.



Dalam kadar tertentu, masalah seputar perburuhan dan HAM untuk konteks TKI sebenarnya terjadi dalam sebuah pentahapan yang tampak apik. Kemelut ekonomi dan ekologi menciptakan kemiskinan. Kemiskinan memancing semangat merantau. Merantau adalah juga pintu masuk yang terbuka lebar bagi pelbagai jenis pelanggaran hak-hak dasar kaum buruh serta rahim bagi lahir dan bertumbuhnya pelbagai masalah sosial kemasyarakatan lainnya. Dunia perburuhan adalah sebuah ruang penuh misteri, padanya hidup dipertaruhkan tanpa jaminan kepastian. Keterlibatan dalamnya bisa menjadi jalan melaluinya hidup itu dipertahankan dan selalu diperbaiki. Serentak pula ia bisa menjadi jalan masuk yang tak terduga dari awal, melaluinya hidup itu sendiri disingkirkan keberadaannya. Perhatian terhadap beberapa aspek yang disebut sebelumnya bisa menjadi bahan pertimbangan pelbagai pihak, entah pemerintah, lembaga-lembaga non-pemerintah ataupun komponen masyarakat lainnya dalam usaha mencegah munculnya pelanggaran HAM akibat keterlibatan dalam dunia kerja tertentu. Penegakan HAM secara niscaya mensyaratkan pemberdayaan totalitas nilai dan dimensi yang menjadi unsur konstitutif jati diri dan keberadaan manusia. *



*Lahir di PSS Utara, Lampung Barat, 5 Mei 1985. Alumni SMA Muhammadiyah 2 Bandar Lampung

18 April 2010

Penertiban Pola Prostutusi Kota

Oleh Karsidi Setiono
Mantan Aktivis Ikatan Remaja Muhammadiyah

Perkembangan prostitusi kini cenderung meningkat dengan menyebarnya aktivitas wanita tunasusila (WTS) atau pekerja seks komersial (PSK) hampir di sebagian kota-kota besar. Termasuk daerah kita. Ditambah lagi semakin maraknya keberadaan account-account transaksi prostitusi yang ada pada jejaring sosial Facebook. Ini merupakan sebuah masalah tersendiri yang harus diselesaikan aparat pemerintahan dan tokoh-tokoh terkait.



JIKA kita perhatikan, aktivitas kehidupan PSK tidak terlepas dari kehidupan dunia malam. Berarti, mereka dapat kita temui hampir di tempat-tempat hiburan, sepanjang jalan-jalan protokol, sudut kota, dan tidak terkecuali tempat-tempat umum. Kekhawatiran kita kini akan menyebarnya pekerja seks yang terkesan dibiarkan (tidak terkontrol) begitu saja melakukan praktiknya tanpa usaha-usaha menertibkannya.

Selama ini aktivitas mereka berbaur dengan lingkungan sekitar masyarakat dan terkesan makin meluas dilihat dari jumlah dan tempat mereka melakukan transaksi seks (lihat saja bagaimana bebasnya pekerja seks di tempat umum berkeliaran mencari pelanggan). Tentu kita masyarakat resah akan dampak yang dapat merugikan masyarakat dan pencitraan yang ada di sekitar lingkungan kota, seperti halnya survei yang dilakukan di Kota Bandarlampung.

Kalaupun ada sebuah perspektif yang berbeda menyangkut pro-kontra dalam memandang persoalan ini, tidaklah menjadi alasan tidak peduli karena masing-masing tentu memiliki kepentingan. Akan tetapi, dibutuhkan sebuah regulasi untuk menertibkan aktivitas mereka dengan terus berpikir bagaimana mencari penyelesaian permasalahan mereka.

Menurut pemantauan Dinas Sosial, khususnya daerah-daerah tempat prostitusi yang berada di Bandarlampung, meliputi tempat-tempat hiburan dan mereka tersebar beberapa tempat mangkalnya WTS atau PSK. Seperti kawasan daerah Tanjungkarang Pusat, jalan protokol (pada hotel-hotel), eks Pasar Seni Enggal, eks lokalisasi Pemandangan/Pantai Harapan (Panjang), Jl. Pramuka, Jl. Urip Sumoharjo, sepanjang Jl. Yos Sudarso, dan daerah kawasan daerah Telukbetung.

Sorotan mengenai kegiatan prostitusi atau pelacuran yang bersifat liar (ilegal) dan sporadis pada daerah kota menjadi persoalan urgen dan dibutuhkan penanganan secara humanis. Tentu kita mengingat bagaimana lokalisasi Panjang (Pantai Harapan dan Pemandangan) dibubarkan pemerintah daerah. Akan tetapi, persoalan ini tidak bisa memberikan jawaban yang tepat. Terbukti setelah lokalisasi ditutup, justru mereka pekerja seks sulit diawasi dan makin liar.

Di samping itu, kita memahami keberatan masyarakat sekitar lokalisasi yang merasa terganggu akan praktik legal pelacuran, terutama tokoh agama, masyarakat, pemuda, dan sebagian masyarat akan dampak adanya lokalisasi. Belum lagi ditambah sikap reaktif kelompok masyarakat (ormas agama/pemuda) secara luas melakukan reaksi sosial menentang kegiatan prostitusi. Sebab, hal ini bergantung faktor adat istiadat, norma-norma susila, dan agama yang menentang segala bentuk kegiatan pelacuran.

Berhubungan dengan aktivitas pola pelacuran yang ada selama ini ada, umumnya mereka berangkat dari keterpaksaan menyangkut persoalan keluarga dan masalah pribadi, traumatik terhadap kekerasan seksual, dan sulitnya pilihan (mencari pekerjaan) di tengah-tengah persoalan yang mengimpit hidup mereka. Hingga mereka terjerumus dalam dunia prostitusi.

Ada beberapa penyebab mengapa persoalan prostitusi sulit ditertibkan dan terus marak. Menurut pengamat patologi sosial Kartini Kartono, dapat dilihat dari indikator meningkatnya aktivitas pelacuran. Pertama, tidak adanya undang-undang atau peraturan yang melarang, membatasi, dan mengatur kegiatan pelacuran secara benar menyangkut kegiatan tempat-tempat prostitusi/hiburan. Artinya, selain tidak adanya sanksi tegas terhadap orang-orang/tempat dan organisasi yang melakukan kegiatan relasi prostitusi.

Kedua, adanya keinginan dan dorongan manusia menyalurkan kebutuhan seks, khususnya di luar ikatan perkawinan, makin tidak terkendali, adanya krisis norma agama, dan sosial sehinggga menimbulkan dekadensi moral.

Ketiga, adanya komersialisasi kegiatan seks sebagai bagian pemuasan kebutuhan biologis dalam perspektif dunia industri seks atau penunjang usaha ilegal menjadi legal, baik dari kepentingan biologis, ekonomis, maupun politik.

Menganalisis persoalan prostitusi tentu memiliki motif lain, seperti adanya kecenderungan melacurkan diri pada banyak wanita muda untuk menghindari kesulitan hidup adalah alasan klasik. Selain itu, untuk mendapatkan kesenangan melalui jalan pintas alasan praktis, ditambah lagi faktor persoalan kurangnya pendidikan, trauma kekerasan seksual adalah faktor pendukung aktivitas pekerjaan sebagai WTS.



Jenis Prostitusi dan Lokalisasi

Menurut aktivitasnya, prostitusi pada dasarnya terbagi dua jenis. Pertama, prostitusi yang terdaftar dan memperoleh perizinan dalam bentuk (lokalisasi) dari pemerintah daerah melalui Dinas Sosial dibantu pengawasan kepolisian dan bekerja sama dengan Dinas Kesehatan. Umumnya, mereka dilokalisasi dalam satu daerah/area tertentu.

Penghuninya secara periodik harus memeriksakan diri pada dokter atau petugas kesehatan dan mendapatkan pelayanan kesehatan berupa pengobatan, seperti pemberian suntikan untuk menghindari penyakit-penyakit berkenaan dengan prostitusi.

Sedangkan kedua adalah jenis prostitusi yang tidak terdaftar bukan lokalisasi. Adapun yang termasuk kelompok ini ialah mereka yang melakukan kegiatan prostitusi secara gelap dan liar, baik perorangan maupun kelompok terorganisasi.

Perda No. 15/2002 tentang Tindak Pelanggaran Prostitusi yang mengatur hukuman bagi pekerja seks komersial dan laki-laki hidung belang belum mampu membuat jera jika mereka melakukan kegiatan pelacuran. Perda ini cenderung kurang berjalan dan tidak adanya ketegasan, baik dari pemerintah daerah maupun dinas yang terkait.

Kalaupun diadakan operasi bersama untuk merazia, belum dapat dikatakan efektif dan selama ini operasi belum menyentuh akar persoalan. Adapun kegiatan penertiban tidak mampu menyentuh atau memberikan sanksi berat kepada mucikari atau organizer tempat-tempat hiburan.

Dengan demikian, kalau kita mengevaluasi kegiatan penertiban selama ini lebih bersifat tidak rutin dan sementara. Bagi pelaku hanya dikenakan sanksi sidang di tempat. Kalaupun ingin bebas bersyarat dapat membayar denda uang yang besarnya tidak lebih dari Rp150 ribu/orang.

Melihat banyaknya PSK yang berkeliaran, tentu masyarakat mengharapkan Pemkot Bandarlampung bersama instansi terkait cepat tanggap dan segera mengambil tindakan secara periodik dengan terus mengadakan razia (penertiban) dan melokalisasi di tempat yang tersendiri dan meminimalisasi kegiatan prostitusi sebagai usaha menjauhi dampak masyarakat sekitar.

Artinya, kita sudah saatnya memikirkan kerugian lebih besar bila prostitusi dibiarkan begitu saja tanpa adanya pengaturan regulasi dan (lokalisasi).

Sebab, kini di Indonesia penderita HIV/AIDS terus meningkat tiap tahunnya sejak

penyakit ini menyerang awal 1987. Diperkirakan sampai akhir 2003 penderita HIV/AIDS mencapai 3.614 orang dengan 332 korban meninggal dunia.

Sedangkan menurut data yang diperoleh Dinas Sosial dan Kesehatan Provinsi Lampung, sepanjang 2003 diperkirakan 64 orang positif HIV dengan perbandingan peningkatan dua kali lipat (100%) dibandingkan tahun sebelumya sebanyak 33 kasus yang positif. Terjadinya peningkatan penderita HIV yang luar biasa berdampak kepada kekhawatiran kita mengenai persoalan ini.

Adapun penyebab perkembangan penyakit HIV/AIDS yang paling utama lebih disebabkan hubungan seks bebas (pelacuran), meluasnya pekerja seks bebas yang masih beroperasi di tempat pelacuran dengan lokasi berpindah-pindah tentu berakibat meluasnya penularan penyakit kelamin dan sulitnya pengawasan.

Tudingan prostitusi dianggap sebagai 80% faktor utama tentu beralasan karena pelaku seks bebas kini mengidap virus HIV/AIDS yang sangat mematikan dan belum ditemukan obatnya. HIV/AIDS timbul dan berkembang sangat cepat karena dunia pelacuran tetap saja berkembang. Di mana negara-negara yang sedang berkembang paling banyak menghadapi persoalan kasus pelacuran, termasuk pelacuran anak dengan berbagai alasan penyebab.

PSK yang melakukan profesinya dengan sadar/sukarela dan terpaksa berdasarkan motivasi-motivasi tertentu, seperti halnya melakukan tugas melacur karena ditawan atau dijebak dan dipaksa orang yang menjanjikan pekerjaan, yang terdiri atas sindikat organisasi gelap dengan bujukan dan janji yang manis. Ratusan bahkan ribuan gadis dari desa dijanjikan mendapat pekerjaan, tapi justru dunia prostitusi yang dijadikan pekerjaan mereka. (*)